Sabtu, 24 Januari 2015

Gravitasi Matahari dan Bulan

Dulu, pas jaman-jamannya kelas XII SMA , saya dan pacar saya waktu itu, lagi ngobrol. Sebenernya topik ini sudah sering kita bicarakan (waktu itu), yaitu tentang Long Distance Relationship, kita, atau lebih tepatnya saya, waktu itu mati-matian nggak mau LDR, ketakutan-ketakutan yang saya timbulkan sendiri dalam kepala saya terus-menerus bikin saya ngerengek sama dia.
“aku ngga mau LDR, LDR itu ngga ada yang berhasil”
“Sekarang aja kita sama-sama sibuk, jarang bisa keluar bareng, apalagi ntar LDR yang beda kota,beda jurusan”
Dan semua rengekan-rengekan yang mungkin bikin dia pusing waktu itu, haha. Iya saya emang orangnya kayak gitu, kalo udah deket banget sama orang, suka ngerengek nggak jelas. Alasan saya waktu itu menurut saya sendiri  sangat-sangat masuk akal. Menurut saya, waktu itu, nggak ketemu saya dia dalam jangka waktu yang lama itu bisa nyiksa banget, belum lagi nanti circle kita yang beda,budaya yang beda, cara pandang yang beda, karena ya lingkungan pasti jadi beda banget, wong deket aja sering berantem apalagi beda kota. Belum lagi nanti kalo kita ketemu sama orang baru, yang ada di deket kita setiap hari, orang baru yang menyenangkan, ada bareng kita pas kita lagi butuh temen, tatap muka, ngga Cuma lewat layar handphone.
Waktu itu kita mati-matian untuk kuliah di kota yang sama, yang sayangnya, kita akhirnya beda kota, dan juga putus bahkan sebelum kita ngerasain gimana LDR, dan ngga punya kesempatan untuk ngebuktiin ketakutan-ketakutan saya yang dulu itu bener apa engga.


“Matahari boleh saya digdaya, raksasa, tapi bagi bumi, gravitasi bulanlah yang paling kuat, mengapa? Karena ia dekat” – Azhar Nurun Ala
Kalimat tadi bikin saya mikir banget, 2 tahun setelah saya putus dari dia waktu itu. Kalimat tadi masuk akal sekali, saya sendiri, sudah sempat tertarik dengan beberapa pria di Malang, ya karena kita sering bareng aja, teman satu organisasi lah, teman satu pergaulan lah. Tapi tidak ada yang bertahan lama, saya pribadi tau dan sadar kalau saya tidak benar-benar jatuh cinta sama mereka, awalnya saya berpikir mereka menarik, entah itu karena mereka  humoris, gentlemen, dan semacamnya, tapi semakin saya berpikir saya sudah move on kepada mereka, semakin saya mikir mereka itu menyenangkan untuk dijadikan teman. Iya hanya teman.

Pernah waktu itu saya deket sama seseorang, orangnya lucu sekali, baik kok, dan (sayangnya) ciri-ciri fisiknya mirip sama ehm..mantan saya. Kita sudah dekat mungkin beberapa minggu, sampai akhirnya saya jalan sama dia, detik itu juga saya diem,mikir, dan ngerasa bersalah banget sama dia. Ternyata saya (mungkin) hanya kangen sama mantan saya, dan menemukan orang yang mirip dan dekat waktu itu. Sampai saat ini, saya merasa bersalah banget sama dia, padahal dia adalah orang yang menyenangkan, untuk dijadikan teman.

2 tahun lebih, saya dan –orang yang saya sebut diawal paragraf postingan ini- beda kota, tetapi kami masih tetap berhubungan baik, baik sekali malah. Walaupun kita tidak berhubungan sangat intens, ya karena kesibukan masing-masing.  Banyak yang nanya “kok masih bisa temenan sih nil?” “katanya, if two past lover remain friends, either they never were in love or they still are.”
Saya waktu itu dengan entengnya bilang “ya bisa aja sih jadi temen biasa, kenapa ngga bisa? Kita toh dulunya juga teman baik.” Atau “ya kita bisa temenan karena aku udah move on.” Dan segala penyangkalan lainnya, sampai suatu ketika, kita berdua, yang pada saat itu menyempatkan untuk mengobrol berdua pada saat liburan (setiap liburan kita ketemu sih sebenernya). Mengobrol tentang sesuatu hal yang tentu saja tidak bisa saya tuliskan disini tanpa seizin dia. Detik itu pula saya sadar, saya masih merasakan hal yang sama seperti dulu, saya menjadi mendapatkan alasan rasional kenapa saya tidak pernah melanjutkan perasaan-perasaan saya dengan laki-laki yang dekat dengan saya di Malang. Ternyata saya masih memiliki perasaan yang sama besarnya, sama laki-laki di awal paragraf. Sampai detik ini. Walaupun sekarang fokus terbesar saya adalah urusan kuliah dan cita-cita saya, jadi saya tidak terlalu memikirkan dia.

Saya terkecoh dengan bulan yang datang, gravitasi saya menjadi mendekati bulan itu. Iya karena mereka dekat, karena bulan ada untuk bumi ketika matahari sedang jauh, sedang terbenam dan semuanya menjadi gelap. Karena sekali lagi, bulan dekat. Tetapi suatu saat bumi akan sadar, dia tidak dapat hidup tanpa matahari.

Saya akhirnya dikasih kesempatan untuk membuktikan ketakutan saya tentang LDR tadi, bagaimana kita bisa tetap merasakan hal yang sama dengan orang yang berjarak, beratus kilometer jauhnya, dengan kesibukan, cara pandang, dan lingkungan yang jauh berbeda, bahkan tanpa ada status, yang oleh banyak orang status sebagai “pacar” sering dijadikan jaminan kepastian, padahal tidak sama sekali.

Karena pada akhirnya, jika seseorang memang matahari kita, seberapa jauhnya ia, kita akan tetap mengorbit padanya. Matahari boleh saja digdaya, tapi bagi bumi, gravitasi bulan lebih kuat karena bulan dekat, tetapi pada akhirnya, bumi akan sadar, ia tidak akan bisa hidup tanpa matahari.


Saya menuliskan cerita ini, hanya untuk mengingatkan diri saya sendiri, kalau dulu persepsi saya salah,tentang LDR, jadi jangan fokus sama bagian sama ngga bisa move on-nya ya HAHHAHA. Saya ngga lagi galau-galau kok, saya lagi mau fokus sama kuliah saya. Seorang teman mengirimi saya gambar pagi ini. Yang intinya bisa saya analogikan seperti ini, jika dia memang matahari saya, saya tidak perlu susah-susah berputar lebih keras untuk mengorbit mendekati dia lebih cepat, saya Cuma harus mendekati pencipta semesta, Dia yang membuat orbit matahari dan bumi.

1 komentar: