Dulu, pas jaman-jamannya kelas XII SMA ,
saya dan pacar saya waktu itu, lagi ngobrol. Sebenernya topik ini sudah sering
kita bicarakan (waktu itu), yaitu tentang Long Distance Relationship, kita,
atau lebih tepatnya saya, waktu itu mati-matian nggak mau LDR,
ketakutan-ketakutan yang saya timbulkan sendiri dalam kepala saya terus-menerus
bikin saya ngerengek sama dia.
“aku
ngga mau LDR, LDR itu ngga ada yang berhasil”
“Sekarang
aja kita sama-sama sibuk, jarang bisa keluar bareng, apalagi ntar LDR yang beda
kota,beda jurusan”
Dan semua rengekan-rengekan yang mungkin
bikin dia pusing waktu itu, haha. Iya saya emang orangnya kayak gitu, kalo udah
deket banget sama orang, suka ngerengek nggak jelas. Alasan saya waktu itu
menurut saya sendiri sangat-sangat masuk
akal. Menurut saya, waktu itu, nggak ketemu saya dia dalam jangka waktu yang
lama itu bisa nyiksa banget, belum lagi nanti circle kita yang beda,budaya yang
beda, cara pandang yang beda, karena ya lingkungan pasti jadi beda banget, wong
deket aja sering berantem apalagi beda kota. Belum lagi nanti kalo kita ketemu
sama orang baru, yang ada di deket kita setiap hari, orang baru yang
menyenangkan, ada bareng kita pas kita lagi butuh temen, tatap muka, ngga Cuma
lewat layar handphone.
Waktu itu kita mati-matian untuk kuliah di
kota yang sama, yang sayangnya, kita akhirnya beda kota, dan juga putus bahkan
sebelum kita ngerasain gimana LDR, dan ngga punya kesempatan untuk ngebuktiin
ketakutan-ketakutan saya yang dulu itu bener apa engga.
“Matahari boleh saya digdaya, raksasa, tapi
bagi bumi, gravitasi bulanlah yang paling kuat, mengapa? Karena ia dekat” –
Azhar Nurun Ala
Kalimat tadi bikin saya mikir banget, 2
tahun setelah saya putus dari dia waktu itu. Kalimat tadi masuk akal sekali,
saya sendiri, sudah sempat tertarik dengan beberapa pria di Malang, ya karena
kita sering bareng aja, teman satu organisasi lah, teman satu pergaulan lah.
Tapi tidak ada yang bertahan lama, saya pribadi tau dan sadar kalau saya tidak
benar-benar jatuh cinta sama mereka, awalnya saya berpikir mereka menarik,
entah itu karena mereka humoris,
gentlemen, dan semacamnya, tapi semakin saya berpikir saya sudah move on kepada
mereka, semakin saya mikir mereka itu menyenangkan untuk dijadikan teman. Iya
hanya teman.
Pernah waktu itu saya deket sama seseorang,
orangnya lucu sekali, baik kok, dan (sayangnya) ciri-ciri fisiknya mirip sama
ehm..mantan saya. Kita sudah dekat mungkin beberapa minggu, sampai akhirnya
saya jalan sama dia, detik itu juga saya diem,mikir, dan ngerasa bersalah
banget sama dia. Ternyata saya (mungkin) hanya kangen sama mantan saya, dan
menemukan orang yang mirip dan dekat waktu itu. Sampai saat ini, saya merasa
bersalah banget sama dia, padahal dia adalah orang yang menyenangkan, untuk
dijadikan teman.
2 tahun lebih, saya dan –orang yang saya
sebut diawal paragraf postingan ini- beda kota, tetapi kami masih tetap
berhubungan baik, baik sekali malah. Walaupun kita tidak berhubungan sangat
intens, ya karena kesibukan masing-masing.
Banyak yang nanya “kok masih bisa temenan sih nil?” “katanya, if two
past lover remain friends, either they never were in love or they still are.”
Saya waktu itu dengan entengnya bilang “ya
bisa aja sih jadi temen biasa, kenapa ngga bisa? Kita toh dulunya juga teman
baik.” Atau “ya kita bisa temenan karena aku udah move on.” Dan segala
penyangkalan lainnya, sampai suatu ketika, kita berdua, yang pada saat itu
menyempatkan untuk mengobrol berdua pada saat liburan (setiap liburan kita
ketemu sih sebenernya). Mengobrol tentang sesuatu hal yang tentu saja tidak
bisa saya tuliskan disini tanpa seizin dia. Detik itu pula saya sadar, saya
masih merasakan hal yang sama seperti dulu, saya menjadi mendapatkan alasan
rasional kenapa saya tidak pernah melanjutkan perasaan-perasaan saya dengan
laki-laki yang dekat dengan saya di Malang. Ternyata saya masih memiliki
perasaan yang sama besarnya, sama laki-laki di awal paragraf. Sampai detik ini.
Walaupun sekarang fokus terbesar saya adalah urusan kuliah dan cita-cita saya,
jadi saya tidak terlalu memikirkan dia.
Saya terkecoh dengan bulan yang datang,
gravitasi saya menjadi mendekati bulan itu. Iya karena mereka dekat, karena
bulan ada untuk bumi ketika matahari sedang jauh, sedang terbenam dan semuanya
menjadi gelap. Karena sekali lagi, bulan dekat. Tetapi suatu saat bumi akan
sadar, dia tidak dapat hidup tanpa matahari.
Saya akhirnya dikasih kesempatan untuk
membuktikan ketakutan saya tentang LDR tadi, bagaimana kita bisa tetap
merasakan hal yang sama dengan orang yang berjarak, beratus kilometer jauhnya,
dengan kesibukan, cara pandang, dan lingkungan yang jauh berbeda, bahkan tanpa
ada status, yang oleh banyak orang status sebagai “pacar” sering dijadikan
jaminan kepastian, padahal tidak sama sekali.
Karena pada akhirnya, jika seseorang memang
matahari kita, seberapa jauhnya ia, kita akan tetap mengorbit padanya. Matahari
boleh saja digdaya, tapi bagi bumi, gravitasi bulan lebih kuat karena bulan
dekat, tetapi pada akhirnya, bumi akan sadar, ia tidak akan bisa hidup tanpa
matahari.
Saya menuliskan cerita ini, hanya untuk
mengingatkan diri saya sendiri, kalau dulu persepsi saya salah,tentang LDR,
jadi jangan fokus sama bagian sama ngga bisa move on-nya ya HAHHAHA. Saya ngga
lagi galau-galau kok, saya lagi mau fokus sama kuliah saya. Seorang teman mengirimi
saya gambar pagi ini. Yang intinya bisa saya analogikan seperti ini, jika dia
memang matahari saya, saya tidak perlu susah-susah berputar lebih keras untuk
mengorbit mendekati dia lebih cepat, saya Cuma harus mendekati pencipta
semesta, Dia yang membuat orbit matahari dan bumi.
SETUJU! CAKEPDAH!!
BalasHapus